Kamis, 19 Januari 2012

Tartil, by : Mr. Yusron Kholid

Inilah tartil surah pendek, silahkan klik icon bila ingin mendengarkan, semoga bermanfaat, amiiiiin

Rabu, 18 Januari 2012

Kajian Niat (4)



Edisi N0: (4 ) Juli II- 2010 M/  Sya’ban I -1431 H

1.      Keraguan dalam niat, perubahan niat dan menyatukan dua niat dalam satu jenis ibadah.
Keraguan niat dalam ibadah ( menurut Syafi’i dan Hambali ) mengakibatkan batalnya ibadah yang dilakukan, seperti ragu dalam sholat apakah sholat Dhuhur atau Ashar. Sehingga tidak mendapatkan pahala ( sebagaimana dijelaskan dalam al-Umm ).

Demikian juga keraguan ketika sedang melaksanakan sholat, apakah sudah niat atau belum, maka bila diteruskan sholatnya, maka tidak mendapatkan pahala dari shalat tersebut, ( menurut Hambali dan Syafi’i )

2. Perubahan Niat
Perubahan niat dalam pertengahan ibadah, seperti sholat, maka menurut Syafi’I batal atau tidak dibenarkan apabila niat itu dari sholat Fardlu ke sholat fardlu lainnya. Sedangkan apabila perbindahan itu dari sholat fardlu ke sholat sunnah, maka tidak menjadi persoalan atau boleh. Dengan dasar bahwa “ sholat Fardlu dengan niat yang benar, tapi belum memasuki waktu sholat tersebut, otomatis bisa berubah menjadi sholat sunnah ( mutlaqoh )

3. Menyatukan dua niat

Kalau penyatuan niat itu dalam wasail ( keterkaitan ) maka diperbolehkan, seperti Mandi Jinabat pada hari Jum’at sekaligus untuk menghilankan hadats. Sedangkan dalam ibdah mahdloh lainnya, tidak dibenarkan menyatukan dua niat dalam satu ibadah. ( menurut Hanafi )

Adapun menyatukan dua niat dalam ibadah sunnah, maka dibenarkan dan dua-duanya mendapatkan pahala, seperti niat dua rakaat sholat fajar dan Sunnah Tahiyyatul Masjid.

Meskipun niat dua amalan sunnah bisa disatukan, namun untuk amalan sunnah yang berbeda waktu dan ketetapannya, maka tidak dibenarkan, seperti niat sholat sunnah dhuha dengan sholat sunnah fajar, karena antara keduanya tidak terkait kebenaran waktunya. Namun apabila kedua amalan sunnah itu terkait dan tidak menyalahi ketetapan waktu dan kaifayah ( tatacara pelaksanaannya ) maka dipandang boleh dan akan mendapat pahala, seperti shalat Tahiyyatal-Masjid dan Sunnah Rawatib Qobliyyah.

Contoh dua amalan sunnah yang dapat disatukan adalah, niat puasa sunnah Arafah dan Puasa Hari senen ( menurut As-Suyuthi )

Penyatuan dalam niat ini apabila menyangkut ibadah muamalah, maka harus ditentukan yang dimaksud, seperti ungkapan suami  kepada istrinya : " Kamu sudah haram berkumpul dengan saya " dengan niat talak dan dhihar, maka si suami harus menentukan mana yang dimaksud.

4. Tujuan niat dan nilai yang terkandung di dalamnya
Ibnu Najim dan as-Suyuthi mengatakan bahwa tujuan niat adalah untuk membedakan antara ibadah dan tradisi/kebiasaan, dan untuk membedakan urutan dan tertib ibadah. Seperti di dalam wudlu dan mandi, maka bisa dibedakan antara niat thaharoh dan menyegarkan badan, demikian juga tidak makan dan tidak minum karena tujuan kesehatan, atau duduk di majlis ( pertemuan ) karena hendak istirahat, dll.
Atau juga untuk membedakan tertib jenis ibadah, apakah fardlu, sunnah atau wajib.

Nilai yang terkandung dalam niat adalah untuk menjadikan ibadah itu benar atau salah, mendapat pahala atau tidak. Dalam hal ini  niat itu wajib bagi setiap ibadah, dibagi menjadi empat (4) perkara :

1.      Haji, umroh dan zakat harus dilafal-kan, boleh berjamaah atau sendiri-sendiri
2.      Sholat fardlu, sholat Jum'at dan mandi wajib disyaratkan untuk " berniat"
3.      Wudlu dan Puasa tidak disyaratkan dengan lafal tertentu
4.      Tayammum harus diniati untuk mengganti wudlu ( tidak hanya fardlu )

5. Syarat-syarat niat
ada syarat umum dan syarat khusus, adapun syarat umum adalah :
a.       Muslim, haruslah yang mmempunyai niat adalah mereka yang beragama Islam, maka tidak sah niat orang kafir.
b.      Tamyiz, yakni yang dapat mebedakan antara yang benar dan yang salah, termasuk di dalam " mumayyiz" adalah berakal. Namun dalam hal tertentu, seorang wali boleh meniatkan yang di bawah perwaliannya, seperti dalam haji dan memandikan jinabat anaknya yang haid.
c.       Memahami apa yang diniati, maka orang yang tidak paham apa yang diniati gugurlah/ batal-lah ibadah yang dilakukan.
d.      Tidak memutus niat dengan yang lain hingga akhir pelaksanaan yang diniati,  sehingga ibadah yang dilakukan dengan niat menjadi batal dan tidak sah, apabila seseorang kemudian " menjadi murtad ". Demikian juga apabila di tengah-tengah wudlu seseorang memutuskannya.

Adapun syarat khususnya adalah : bahwa dalam masing-masing jenis ibadah telah ditentukan syarat sah dan rukunnya, jadi yang dimaksudkan dengan syarat khusus dalam biat adalah terkait dengan syarat ibadah tersebut, seperti sholat yang syarat sahnya antara lain " memasuki waktu shalat " dan lainnya, yang akan di bahas pada masing-masing bab yang membahas tentang ibadah-ibadah tersebut.

6. Niat dalam ibadah, apakah merupakan syarat atau rukun ?
sebagaimana kita pahami, perbedaan syarat dan rukun adalah bahwa rukun merupakan sesuatu yang menjadi syarat kesempurnaan suatu ibadah yang terpadu dengan ibadah tersebut dan tidak dipisahkan, sedangkan syarat adalah  sebagai kelengkapan dan kesempurnaan dalam sebuah ibadah tapi terpisah dari ibadah itu sendiri, seperti wudlu menjadi syarat sah-nya sholat.

Dan dalam hal " niat " menurut Ibnu Najim dan as-Suyuthi merupakan syarat sahnya ibadah dan bukan termasuk rukun, demikian juga menurut Hambali dan Maliki. Namun menurut Syafi'i, niat merupakan rukun ibadah sehingga harus menyatu dengan rangkaian ibadah tersebut.

Dalam hal ini, dijelaskan oleh para Ulama Fiqih bahwa disunnahkan bagi mereka yang akan beribadah untuk berniat, meskipun letak niat itu di dalam hati, namun apabila diikuti dengan pengucapan yang bertujuan untuk menyatukan antara pekerjaan lisan dan hati, maka itu lebih utama.

Yang disepakati oleh mayoritas Ahli Fiqih dalam hal niat adalah : wudlu, tayammum, Mandi, sholat,  puasa, I'tikaf, Zakat, Haji dan Umroh, Berjanji atau bersumpah, Penyembelihan hewan,  Berburu binatang, Membaca Al-Qur'an


Demikianlah bahasan tentang  " niat" yang telah dibahas secara tuntas. Semoga ilmu yang kita dapatkan manjadi ilmu yang manfaat dan maslahat dunia dan akherat dan Semoga Alloh menerima amal kita semua, amin yaa rabbal 'aalamiin.

Sedangkan pada pertemuan mendatang akan dibahas tentang FIQIH IBADAH, yang antara lain membahas tentang :
1.      Thaharoh ( bersuci )
2.      Sholat
3.      Puasa dan I'tikaf
4.      Zakat dan macam-macamnya
5.      Haji dan Umroh
6.      Iman dan Nadzar
7.      Makanan dan Minuman
8.      Binatang sembelihan, Aqiqah dan khitan
9.      Berburu dan penyembelihan.




Kajian Niat (3)



Edisi N0: (3 ) Juli I- 2010 M/  Rajab IV -1431 H

è [ 1 ] --- Posisi niat
Menurut kesepakatan para Ahli Fiqih ( ittifaq Fuqoha' ), letak dan posisi niat adalah di dalam hati ( wajibnya ), jadi tidak cukup dengan lisan saja, dan bukan pula hanya tertumpu pada pengucapan saja.
Namun menurut Jumhur Fuqoha' ( mayoritas Ahli Fiqih ) kecuali Maliki, bahwa " pengucapan" niat dengan lisan hukumnya sunnah, hal ini karena membantu hati dalam merealisasikan niat tersebut. Agar pengucapan dan pelafalan itu membantu " daya ingat", sedangkan Maliki tidak memandangnya sunnah karena tidak manqul dari Nabi saw.

Dan niat itu bersemayam di hati, karena sesungguhnya niat itu sama artinya dengan ikhlas, dan ikhlas itu adanya hanya di hati, sehingga niat akan semakin kokoh apabila digabungkan antara : " terbetik dalam hati " dan " dilafalkan dengan lisan ".

Terjadinya perbedaan pandangan bahwa niat cukup di dalam hati dan perlu dilafalkan adalah :
  1. Bahwa tidak cukup niat itu dilafalkan saja tanpa didasari dengan kesungguhan hati sesuai dengan firman Alloh dalam surah al-Bayyinah: 98/5., dan dari ini muncul bahasan :
sehingga niatan di dalam hati itu lebih utama dibandingkan dengan pelafalan, sehingga jikalau dalam berwudlu seseorang telah terdetik niat dalam hati, namun melafalkannya untuk mensucikan, maka wudlunya sah. Demikian juga saat dalam hati terbetik niat melaksanakan shalat dhuhur, namun dalam lisan melafalkan niat shalat ashar, maka sah sholat dhuhurnya .

Dijelaskan dalam kitab Hanafiyah ( " al-Qoniyyah wal Mujtabaa " ) : Barangsiapa yang tidak mampu menghadirkan hatinya dalam berniat atau ragu-ragu dalam berniat, maka cukup dengan melafalkan secara lisan, dalilnya dalah firman Alloh dalam surah al-Baqoroh : 2/286.

Apabila ucapan lisannya terlanjur berjanji/ sumpak kepada Alloh swt, tanpa sengaja, maka menurut Jumhur kecuali Hanafi adalah tidak " terjadi" sumpah dan janjinya, karena merupakan sumpah " gurauan". Namun menurut Hanafi hal demikian tetap terjadi sumpah dan janjinya dan berhak dikenai kaffarat apabila melanggarnya, karena menurutnya dalam hukum asal tidak ditemukan " hukum sumpah gurauan ". sedangkan Jumhur memandang bahwa sunpah yang " berlaku " adalah sumpah yang diucapkan dengan kalimat sumpah, seperti : Wallohi, Balaa Walloohi, atau dengan membaca al-Qur'an. Dan kesimpulannya bahwa dalam hal talak dan ila' yang berlaku adalah " ucapan lisan " tanpa harus didasari dengan " betikan di dalam hati ", sehingga apabila terucap kalimat talak dan atau ila' meski tanpa didasari niatan hati maka hukumnya telah berlaku.
b. Niat tidak selalu disyaratkan dengan pelafalan, khususnya dalam ibadah sosial yang memang tidak memerlukan pelafalan. Seperti dalam membangun masjid, dalam bersumpah untuk menghindari melakukan sesuatu, atau talak yang diikuti kalimat " Insya Alloh "., namun dalam mu'amalah tertentu disyaratkan adanya pelafalan, seperti dalam Nikah, Talak. cerai dan rujuk, dalam jual beli dan dalam akad ijab qabul yang lain.
Dalam hal bermaksiat, Subki dan kawan-kawan mengurutkan dalam 5 tingkatan :
1.      Hajiz, yakni betikan dalam hati, tidak berdosa karena belum terlaksana
2.      Khothir : yang terdetik dalam hati dan mampu untuk dilakukan namun tidak dilakukan
3.      Haditsun-nafs ( bisikan jiwa ) yakni antara melakukan dan tidak melakukan
4.      al-Hamm ( keinginan yang  kuat ). Bisa terjadi dan bisa tidak terjadi
5.      al-'Azmu ( dorongan yang kuat ), untuk melakukan

è [ 2 ] Waktu Berniat
Dalam hukum asal secara umum bahwa waktu untuk berniat adalah pada awal melakukan ibadah badaniyah ( secara fisik ). Seperti dalam wudlu adalah pada awal melakukan rangkaian ibadah wudlu, ( saat membasuh tangan : menurut Hanafi ) meskipun rukun wudlu adadalh membasuh wajah, namun bila niat di saat membasuh tangan agar mendapat pahala mulai saat membasuh tangan tersebut. Dan boleh juga berniat sebelum berwudlu dalam tenggang waktu yang tidak lama, apabila terlalu lama maka tidak mendapat pahala.

Menurut Syafi'i dan Hambali, lebih baik diniati menghilangkan hadats dalam setiap gerakan dalam wudlu.
Dan di dalam mandi maka niatnya harus jelas apakah untuk menghilangkan jinabat, menghilangkan hadats besar atau niat " membolehkan yang dilarang " dan dilakukan sebelum mengguyur badan dengan air.

Sedangkan dalam tayammum, maka niat menjadi fardlu menurut 4 imam madzhab. Akan tetapi mereka berbeda di dalam menempatkan posisi niat; apakah sebelum menepuk debu, apa sebelum mengusap wajah, yang jelas harus " berniat ".

Adapun dalam shalat, maka para imam madzhab berpendapat sebagai berikut :
  1. Hanafi adalah sesaat sebelum takbirotul ihrom tanpa di sela oleh pekerjaan lain seperti makan, minum dan lain sebagainya.
  2. Syafi'i adalah bersamaan antara niat dan takbirotul ihrom
  3. Maliki, saat takbirotul ihrom atau sebelumnya pada jarak waktu yang tidak terlalu lama.
  4. Hambali, boleh sebelum takbir dengan jarak watu yang tidak terlalu lama
Kesimupulannya : bahwa niat sholat adalah berbarengan dengan takbir atau sebelumnya dalam batas waktu yang tidak terlalu lama.

Adapun yang disunnahkan dalam berniat :
1.      Puasa, boleh berniat lebih awal, yaitu sejak terbenam matahari sampai sebelum fajar
2.      Haji, letak niatnya adalah sebelum melaksanakan rangkaian haji
3.      Zakat maal dan fitrah, boleh diawalkan niatnya seperti dalam puasa
4.      Menjama' Shalat atau qashar, niatnya pada shalat yang pertama, namun Syafi'i membolehkan diantara dua shalat yang dijama' atau diqashar.
5.      Menyembelih binatang qurban, boleh lebih awal atau saat menyerahkan kepada wakilnya
6.      Bersumpah, waktunya adalah sebelum selesai sumpahnya.

è [ 3 ] Tatacara niat

Berniat itu dimaksudkan untuk membedakan antara pekerjaan atau ibadah satu dengan yang lainnya, baik dalam ibadah khusus ( mahdloh ) atau dalam ibadah umum ( ghoiru mahdloh ) atau bahkan dalan adat tradisi ( kebiasaan ). Sehingga maksud niat dalam ibadah adalah untuk membedakannya dengan adat tradisi atau untuk membedakan posisi satu ibadah dari yang lainnya, seperti wajib dengan sunnah dan lain sebagainya.

Seperti dalam berwudlu, maka diniati untuk membolehkan sholat dan menghilangkan najis, maka sah-lah wudlunya, namun apabila diniati yang lain, maka tidak sah.

Dan dilam sholat, urutannya adalah yang wajib ( fardlu ) dan yang sunnah, seperti sholat fardu 5 waktu dan sholat jenazah. Dan sholat sunnah ada yang mengikuti wajib ( rawatib ), shalat witir, shalt 2 hari raya ( ied ), kusyuf, istisqa, tarwih dan muthlaqah.
Dalam shalat fardlu, maka wajib menyebutkan jenis sholatnya agar dapat membedakan dengan jenis sholat lainnya ( Subuh, dhuhur, ashar, maghrib dan isya' ).
Dan dalam sholat sunnah maka wajib menyebutkan jenis shalat sunnahnya, seperti shalat sunnah witir, tarwih, istisqo dan lain sebagainya. Adapun dalam shalat sunnah mutlaqah boleh tidak menyebutkan jenisnya karena tidak ditentukan waktu dan sebab melaksanakannya ( seperti awwabiin, taubat, birrul waalidain, lailatul qodr dsb ).

Dan secara garis besar, para imam madzhab mensyaratkan penyebutan tujuan dan kondisi pekerjaan ibadah, seperti antara haji dan umroh. Antara zakat, sodaqoh dan infaq, atau dalam penjelasan tentang ibadah yang dilakukan, seperti dalam shalat dhuhur maka yang perlu diniatkan adalah : jenis shalat ( dhuhur ), jumlah rakaat ( empat rakaat ), menghadap kiblat, tujuannya adalah mencari ridlo Alloh ( lillaahi ta;ala ) ; atau dalam kalimat :

أُصَلِّى فَرْضَ الظُّهْرِ أَرْبَعَ رَكَعَـاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى

Adapun di dalam ibadah lain yang harus berniat adalah : i;tikaf, haji, umroh dan lain sebagainya.

Demikianlah bahasan tentang  " Posisi niat, waktu niat dan Tatacara niat"
Semoga ilmu yang kita dapatkan manjadi ilmu yang manfaat dan maslahat dunia dan akherat dan Semoga Alloh menerima amal kita semua, amin yaa rabbal 'aalamiin.




Kajian Niat (2)


Edisi N0: (2 ) Juni III- 2010 M/  Rajab I -1431 H

è Hukum Niat dan dalil wajibnya, serta kaidah syari'at yang terkait
Hukum niat menurut Jumhur Ahli Fiqih ( kecuali Hanafi )  adalah "wajib" sebagai ketetapan keabsahan sebuah "amal", seperti dalam wudlu, mandi ( selain mandi mayit dan tayammum) dan berbagai macam dan jenis sholat. Serta zakat, puasa dan haji serta umroh

Dan " sunnah " ( menurut Jumhur Fuqoha' selain Hanafi ) terhadap amal yang tidak ditetapkan keabsahannya tanpa niat, seperti dalam melaksanakan " hal-hal yang mubah/boleh" semisal makan dan minum, serta dalam meninggalkan perkara yang haram dan makruh, seperti menghindari zina, minum khomer dan lainnya. Atau menghindari sesuatu yang sia-sia, yaknu seperti melakukan sesuatu yang hanya menghabis waktu dan tenaga tanpa ada manfaat yang jelas yang dapat dirasakan baik secara lahir maupun batin.

Adapun menurut Hanafi bahwa niat itu hukumnya "sunnah" dalam wudlu dan mandi serta hal-hal lain yang merupakan wasilah/sarana untuk melaksanakan sholat, untuk mendapatkan pahala, dan hal tersebut ( wudlu dan mandi ) merupakan syarat sahnya sholat

Namun secara garis besar, bahwa para ulama fiqih sependapat bahwa niat adalah wajib dalam sholat untuk membedakan antara ibadah dan adat tradisi, agar dapat terfokus untuk ikhlash mengerjakannya karena Alloh swt, padahal sholat merupakan ibadah yang salah satu indikasinya adalah " keikhlasan pelaku hanya untuk Alloh swt saja ".

Adapun dalil-dalil tentang wajibnya "niat " adalah :
  è Dalam surah Al-Bayyinah :
ومـاأمـروا إلاّ ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفـاء.......
artinya : " Dan tiadalah mereka diperintahkan kecuali agar mereka menyembah Alloh dengin mukhlish/ikhlas sesuai ajaran agama dengan tulus…. " dan menurut Mawardi arti ikhlash dalam ayat ini adalah " niat ".

è Sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim ( Muttafaq 'Alaih ) serta 6 Perowi Hadits termasuk Ahmad, dari riwayat Amirul Mukminin Umar bin Khottob ra., dan dia – menurut Nawawi- merupakan hadits agung, yang merupakan salah satu cikal bakal berkembangnya Islam, sejumlah 42 hadits, dengan matan ( bunyi ) hadits :
قال عمر: سمعت رسول الله ص.م. يقول : إنّماالأعمـال بالنيات, وإنّما لكـلّ امرئ مانوى, فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله  فهجرته إلى الله ورسوله, ومن كانت هجرته إلى الدنيايصيبها أوامـرأة ينكحها فهجرته إلى ما هـاجر إليه
Artinya : Umar ra berkata : aku mendengar Rasululloh saw bersabda : Sesungguhnya setiap amal ( perbuatan ) itu ditentukan oleh niat, dan bagi setiap orang adalah apa yang diniatkan, maka barang siapa hijrah (orientasi)nya kepada Alloh dan Rasul-Nya maka yang didapat adalah dari Alloh dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijroh( motivasinya ) karena dunia maka dia akan mendapatkan itu, atau untuk wanita yang dinikahinya, maka orientasinyapun kepadanya "

Maksud dari amal ( perbuatan ) pada hadits di atas adalah amal taat dan amal syari'at, dan bukan amal perbuatan mubah ( yang dibolehkan )
Hadits di atas dengan jelas telah menerangkan bahwa niat merupakan syarat sah-nya ibadah, bukan nilai amal itu yang dimaksud dalam hadits namun nilai amal tersebut sangat ditentukan oleh niat-nya, yakni bahwa sebuah ibadah tidak akan dinilai sebagai ibadah kalau tanpa niat, seperti wudlu, mandi dan tayammum. Demikian juga shalat, zakat dan i'tikaf serta ibadah-ibadah yang lain. Adapun menghilangkan najis tidak perlu niat, karena menghilangkan najis termasuk "pasal meninggalkan" yang tak perlu niat

Adapun dalam kalimat  وإنّما لكـلّ امرئ مانوى menunjukkan pada dua hal :

  1. Menurut Khotoby, mengandung makna khusus, yakni memfokuskan amal dengan niat, dan menurut Nawawi : memfokuskan amal ibadah dengan niat merupakan syarat sah-nya ibadah tersebut, dan tidak sah niat untuk ibadah yang berlalu, tapi harus dalam ibadah yang akan dikerjakan
  2. Tidak diperbolehkan mewakilkan dalam ibadah, karena dalam hal niat juga tidak dibenarkan mengambil " wakil ". namun ada perkecualian khususnya dalam pentasyarrufan zakat atau penyembelihan hewan kurban, maka boleh mewakilkan/diwakili dalam hal niat, juga diperbolehkan dalam pembayaran hutang.
ØKaidah syari'at yang berkaitan dengan niat
Berdasarkan pada hadits sayyidina Umar ra, di atas para mujtahidun dan para imam madzhab menyimpulkan sebuah hukum yang merupakan hukum furu' ( cabang ) dari fiqih. Diantara nya adalah : kaidah (1) Tidak berpahala tanpa niat, (2) segala sesuatu itu tergantung maksud tujuannya, dan (3) Perwujudan dalam akad itu untuk maksud dan pemaknaan, bukan dalam lafadz dan bentuk perbuatan., dan penjelasannya sebagai berikut :

(1) Tidak berpahala tanpa niat
secara ijma' disimpulkan bahwa niat merupakan syarat sah-nya ibadah. Dengan dasar Surah al-Bayyinah ayat 5 di atas, Abu Najim dari kelompok Hanafiyah mengatakan : bahwa sarat sahnya ibadah itu adalah ikhlas yang berarti dalam wilayah tauhid, maka niat menjadi syarat sahnya ibadah untuk mentauhidkan Alloh swt. Sedangkan dalam memandikan mayat tidak perlu niat, karena begitu juga saat menshalatkannya, sebab hanya sebatas menggugurkan kewajiban si mayit.
Dan menurut Jumhur Fuqoha niat adalah wajib sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dan makna kaidah ini adalah : Tidak ada pahala bagi semua ibadah syar'iyyah  tanpa adanya niat.  Menurut Ibnu Najim al-Mishry : pahala itu ada dua macam :
  1. Ukhrowi = yakni pahala yang sesungguhnya dan diikuti dengan kemungkinan mendapat siksa ( balasan meninggalkan )
  2. Dun-yawi ( dunia ) yakni keabsahan atau "kerusakan".

(2) segala sesuatu itu tergantung maksud tujuannya ( niatnya )
Maksudnya adalah bahwa amal perbuatan manusia yang mencakup ucapan dan perbuatannya tunduk pada hukum syari'at yang dengannya dapat tercapai tujuannya, jadi bukan hanya sekedar realitas amal dan ucapan saja.

Dan hakekat kaidah ini adalah hadits tersebut di atas serta hadits lain, yang disampaikan as-Suyuthi dalam berbagai kitabnya. Contohnya adalah sebagai berikut :
Dalam hal pembunuhan yang termasuk hukum jinayah ( pidana ) sangat didasarkan pada maksud dan niatnya, jika niatnya adalah sengaja maka dikenai hukum qishos, jika karena tidak sengaja maka dikenai diyat ( tebusan ). Demikian juga dalam shalat, jika diniatkan ikhlash karena Alloh maka sholatnya sah dan diterima, tapi jika untuk riya' maka shalatnya batal dan ditolak.
Dan masih banyak contoh kasus yang lain.

(3) Perwujudan dalam akad itu untuk maksud dan pemaknaan, bukan dalam lafadz dan bentuk perbuatan
Kaidah ini lebih khusus dari kaidah kedua yang membahas perkara lebih luas, sedangkan kaidah ketiga ini hanya difokuskan pada perkara "akad"( ijab qabul ).
Yakni bahwa jafadz dalam akad itu dapat merubah dari satu akad ke akad yang lain. Seperti dalam hal " hibah " yang memang harus tanpa disertai sarat tertentu, namun bila dalam hibah itu disertai sarat harus memberi ini dan itu, maka akad hibdah berubah menjadi akad jual beli.
Kaidah ini sering digunakan oleh madzhab Hanafi dan Syafi'i, khususnya dalam hukum jual beli. Sedangkan Malik dan Ahmad bin Hambali  tidak memakainya.

Demikianlah bahasan tentang " Hukum Niat dan dalil yang mewajibkannya serta kaidah syariat yang terkait dengannya ". dan akan dibahas pada pertemuan berikutnya tentang : " Posisi niat, waktu niat dan Tatacara niat"
Semoga ilmu yang kita dapatkan manjadi ilmu yang manfaat dan maslahat dunia dan akherat dan Semoga Alloh menerima amal kita semua, amin yaa rabbal 'aalamiin.



Kajian Niat (1)


Edisi N0: (1 ) Junii 2010 M/ Jumadal- Akhir 1431 H


 è Caraka ( Penghantar ) :

Mudarosah Kajian Fiqih ( MuKaFi ) adalah sebuah kajian yang dirintis oleh Pimpinan Anak Cabang ( PAC ) Muslimat NU Kecamatan Magetan, sebagai bentuk kontribusi dalam meningkatkan pemahaman dan keilmuan bagi anggota khususnya dan para jamaah umumnya di bidang fikih.

Mudarosah ini dilaksanakan setiap Kamis sore dari pukul 16.00 s/d 17.00 bertempat di aula     " ASWAJA " komplek SD-NU ( SD Islamiyah ) Magetan, Jl. MT. Haryono No. 09 Magetan

Mukaddimah Kajian
Arti Fiqih secara harfiyah adalah  pemahaman (الفهم) sebagaimana firman Alloh dalam Surah Hud : 91 , sedangkan secara istilah, fikih adalah : Memahami perihal syari'at berdasarkan dalil-dalil yang benar. Maka di dalam fiqih yang dikaji adalah berbagai hal yang menyangkut tatacara syari'at dan segala sesuatu yang melingkupinya, termasuk ijtihad dan segala permasalahannya, dan perihal yang dikaji dalam lingkup fiqih dan lain sebagainya.
Adapun wilayah kajian fiqih adalah sebagai berikut :
1.      Fiqih Ibadah, yakni membahas tentang hubungan manusia dengan Alloh ( Hablum-munalloh )
2.      Kajian Fiqih kontemporer ( terkini )
3.      Fiqih Mu’amalah, yakni yang membahas hubungan manusia dengan manusia ( Hablum-minannas )
4.      Fiqih Malakiyyah, yakni tentang kepemilikan ( properti ) seperti perihal tanah, pembebasan budak, masalah jenazah, perjanjian kerjasama dan lain sebagainya
è 5. Fiqih Umum, yakni yang berkaitan dengan ketatanegaraan
     6. Ahwaal Syahsyiyyah, yakni perihal yang menyangkut individual seperti nikah, talak, wasiyat maupun mwaris dan lain sebagainya

èPembahasan perkara :  " NIAT "
Bahasan yang melandasi pembahasan fiqih adalah " niat " yakni niat yang disyari'atkan dalam wilayah hukum syari'at, juga tentang niat di luar itu serta terkait dengan hukum-hukum dan segala hal yang terkait dengan itu di wilayah " ibadah " seperti puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Juga dalam wilayah " mu'amalah " seperti akad nikah, ikrar jual beli, hibah, hak pengasuhan dan lainnya, serta wilayah " pengguguran " seperti talak yakni menggugurkan ikatan nikah, juga wilayah " menghindari dan meninggalkan " seperti menghindari yang makruh, dan haram serta menghilangkan najis serta memendam aib dan lain sebagainya. Juga dalam wilayah " mubah dan tradisi / adat istiadat " seperti makan, minum, berkumpul dengan istri dan segala hal yang mengakibatkan seorang muslim mendapat pahala saat mengejakannya dengan niat yang benar, serta tidak membebani dalam mengamalkan namun justru melunakkan hati sesuai dengan fitrah kemanusiaannya.

Adapun perkara yang akan dibahas terkait dengan " niat " adalah :
1.      Hakekat niat dan pengertiannya
2.      Hukum wajib niat dan dalil tentang itu, serta kaidah syar'iyyah yang berkaitan.
3.      Posisi niat
4.      Waktu niat
5.      Tatacara niat
6.      Keraguan dalam niat  perubahan niat serta penyatuan satu niat untuk dua jenis ibadah
7.      Tujuan niat dan nilai yang terkandung
8.      Syarat-syarat niat
9.      Niat dalam ibadah
10.  Niat dalam aqad/ akad ( ijab dan qabul )
11.  Niat dalam fasakh ( pengguguran akad )
12.  Niat dalam "meninggalkan dan menghindari "
13.  Niat dalam perkara mubah dan adat tradisi
14.  Niat dalam perkara lainnya

è Bahasan 1 = Tentang hakekat niat dan pengertiannya
Secara harfiah, niat adalah " orientasi/menyengaja kepada sesuatu dan keinginan yang kuat dalam hati ", atau dengan gambaran lain adalah motivasi : yaitu keyakinan dalam hati untuk melakukan sesuatu dengan keinginan yang kuat, tanpa keraguan.
Adapun perbedaan antara " niat " dan "keinginan" adalah cukup jelas menyangkut
Perbuatan segera dan perbuatan yang akan dilaksanakan pada waktu mendatang.
Dan para ahli bahasa juga membahas tentang perbedaan antara " niat " dan " 'azam/keinginan" yakni bahwa niat adalah terkait dengan perbuatan amal yang segera atau sedang dilaksanakn, sedangkan azam adalah terkait dengan perbuatan di waktu yang akan datang.

Dalam istilah syari'at : niat adalah keinginan yang kuat dalam hati untuk melakukan sesuatu baik yang fardlu maupun yang bukan ( yang bukan fardu/ sunnah ). Dengan penjelasan bahwa niat itu didasarkan pada setiap perbuatan ( amal ) yang dilakukan oleh orang yang berakal sehat, sadar dan mampu memilih yang baik. Yang dilakukan baik sebelum beribadah maupun sebelum melaksanakan aktifitas keseharian.
Dan perbuatan tersebut menyangkut hukum syara'/ syari'at yang diwajibkan atas setuap muslim baik dalam perkara wajib, haram, sunah, makruh maupun mubah.
Adapaun perbuatan seorang muslim yang tidak " diniati " merupakan perbuatan orang yang lalai dan sia-sia. Demikian ini dalam bahasan syari'at termasuk kategori : orang gila/ hilang ingatan, orang lupa atau orang yang tidur.

Sedangkan perbuatan itu termasuk rutinitas biasa seperti makan, minum, berdiri dan duduk, berjalan maupun tidur bila dilakukan oleh orang yang berakal dan sadar, maka hukumnya "mubah" tanpa niat.

Terkait dengan hukum batalnya wudlu bagi orang yang lupa, serta tanggung jawab orang gila dan bayi, juga tanggungjawab orang yang membunuh tanpa sengaja atau menyakiti anggota badan tanpa sengaja maka tidak termasuk dalam pasal taklif syar'iy ( pembebanan syari'at ), tapi termasuk dalam pasal hukum positif.

Jadi, maksud dari niat puasa adalah 'azam ( keinginan yang kuat ) dan secara menyeluruh lahir dan batin, ini makna umum, yakni bahwa puasa itu sah bila diniati pada malam harinya, tanpa harus bersamaan dengan saat mengawali puasa atau saat terbit fajar, maka ketika seseorang niat puasa di malam hari, lalu dia makan dan puasa, maka sah-lah puasanya.
Adapun jenis ibadah selain puasa yang menuntut untuk melakukan secara bersamaan antara niat dan memulai perbuatan, maka harus ada tahqiq niat ( aktualisasi niat ).yang demikian ini menurut pendapat Imam Syafi'i termasuk rukun ibadah, seperti dalam : wudlu, mandi, tayammum, sholat, zakat dan haji... juga dinisbatkan dengan akad ikrar dan pengguguran yang harus juga dengan tahqiq niat yakni dengan " pelafalan ( pengucapan ), tulisan atau isyarat yang dapat dipahami" atau dengan kata lain, dalam pelaksanaan hal-hal yang telah disebutkan di atas harus ada kebersamaan " antara niat dan pelafalan " dan saling terikat antara satu dengan yang lainnya.
Menurut para ulama, fungsi niat ada dua ( 2 ) yaitu :
1. Membedakan antara satu ibadah dengan lainnya. Seperti membedakan antara sholat dhuhur Dan sholat Ashar, dan untuk membedakan antara puasa Ramadhan dan puasa yang lain., demikian juga antara mandi jinabat dan mandi biasa, atau antara amal ibadah dan amal rutinitas. Niat dalam jenis inilah yang banyak dibahas oleh para Ahli Fiqih di dalam kitab-kitab mereka.

2. Membedakan maksud / orientasi / tujuan sebuah amal, yakni apakah amal perbuatan itu dimaksudkan dan ditujukan hanya kepada Alloh atau kepada selainNya. Dan inilah niat yang sering dibahas oleh para Ahli Tasawwuf ( 'arifun) dalam kitab-kitab mereka dalam bab ikhlas dan segala hal yang berkaitan dengannya. Dan itu pula yang banyak ditemukan dalam bahasan para Ulama' Salaf Mutaqoddimin, seperti yang dikarang oleh Abu Bakar bin Abud-dun-ya yang diberi judul Kitabul-ikhlas wan-niyyah ( Kitab tentang ikhlas dan niat ). Di dalam kitab itu banyak dibahas tentang perbedaan antara niat dan keinginan serta kehendak, sebagaimana yang sering dibahas oleh Rasulullah Muhammad saw. Tentang perbedan diantara pengertian niat, keinginan dan kehendak.

Dan diantara perbedaan pengertian itu para ulama Fiqih memberikan pengertian yang simple, yakni bahwa niat : adalah dikhususkan sesuai dengan niat seseorang, sedangkan keinginan tidak difokuskan atau tidak dikhususkan, seperti seseorang menginginkan diampuni dosanya oleh Alloh maka tidak perlu niat.

Demikianlah pembahasan tentang pengertian niat dan hakekatnya, semoga menjadikan ibadah kita semakin bermakna, berbobot dan diterima oleh Alloh swt.
Dan pada bagian berikutnya akan dibahas tentang " Hukum niat dan dalil yang mewajibkannya serta kaidah syar'iyyah yang berkaitan dengan niat "

Semoga Alloh menerima amal kita semua, amin yaa rabbal 'aalamiin.