Rabu, 18 Januari 2012

Kajian Niat (2)


Edisi N0: (2 ) Juni III- 2010 M/  Rajab I -1431 H

è Hukum Niat dan dalil wajibnya, serta kaidah syari'at yang terkait
Hukum niat menurut Jumhur Ahli Fiqih ( kecuali Hanafi )  adalah "wajib" sebagai ketetapan keabsahan sebuah "amal", seperti dalam wudlu, mandi ( selain mandi mayit dan tayammum) dan berbagai macam dan jenis sholat. Serta zakat, puasa dan haji serta umroh

Dan " sunnah " ( menurut Jumhur Fuqoha' selain Hanafi ) terhadap amal yang tidak ditetapkan keabsahannya tanpa niat, seperti dalam melaksanakan " hal-hal yang mubah/boleh" semisal makan dan minum, serta dalam meninggalkan perkara yang haram dan makruh, seperti menghindari zina, minum khomer dan lainnya. Atau menghindari sesuatu yang sia-sia, yaknu seperti melakukan sesuatu yang hanya menghabis waktu dan tenaga tanpa ada manfaat yang jelas yang dapat dirasakan baik secara lahir maupun batin.

Adapun menurut Hanafi bahwa niat itu hukumnya "sunnah" dalam wudlu dan mandi serta hal-hal lain yang merupakan wasilah/sarana untuk melaksanakan sholat, untuk mendapatkan pahala, dan hal tersebut ( wudlu dan mandi ) merupakan syarat sahnya sholat

Namun secara garis besar, bahwa para ulama fiqih sependapat bahwa niat adalah wajib dalam sholat untuk membedakan antara ibadah dan adat tradisi, agar dapat terfokus untuk ikhlash mengerjakannya karena Alloh swt, padahal sholat merupakan ibadah yang salah satu indikasinya adalah " keikhlasan pelaku hanya untuk Alloh swt saja ".

Adapun dalil-dalil tentang wajibnya "niat " adalah :
  è Dalam surah Al-Bayyinah :
ومـاأمـروا إلاّ ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفـاء.......
artinya : " Dan tiadalah mereka diperintahkan kecuali agar mereka menyembah Alloh dengin mukhlish/ikhlas sesuai ajaran agama dengan tulus…. " dan menurut Mawardi arti ikhlash dalam ayat ini adalah " niat ".

è Sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim ( Muttafaq 'Alaih ) serta 6 Perowi Hadits termasuk Ahmad, dari riwayat Amirul Mukminin Umar bin Khottob ra., dan dia – menurut Nawawi- merupakan hadits agung, yang merupakan salah satu cikal bakal berkembangnya Islam, sejumlah 42 hadits, dengan matan ( bunyi ) hadits :
قال عمر: سمعت رسول الله ص.م. يقول : إنّماالأعمـال بالنيات, وإنّما لكـلّ امرئ مانوى, فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله  فهجرته إلى الله ورسوله, ومن كانت هجرته إلى الدنيايصيبها أوامـرأة ينكحها فهجرته إلى ما هـاجر إليه
Artinya : Umar ra berkata : aku mendengar Rasululloh saw bersabda : Sesungguhnya setiap amal ( perbuatan ) itu ditentukan oleh niat, dan bagi setiap orang adalah apa yang diniatkan, maka barang siapa hijrah (orientasi)nya kepada Alloh dan Rasul-Nya maka yang didapat adalah dari Alloh dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijroh( motivasinya ) karena dunia maka dia akan mendapatkan itu, atau untuk wanita yang dinikahinya, maka orientasinyapun kepadanya "

Maksud dari amal ( perbuatan ) pada hadits di atas adalah amal taat dan amal syari'at, dan bukan amal perbuatan mubah ( yang dibolehkan )
Hadits di atas dengan jelas telah menerangkan bahwa niat merupakan syarat sah-nya ibadah, bukan nilai amal itu yang dimaksud dalam hadits namun nilai amal tersebut sangat ditentukan oleh niat-nya, yakni bahwa sebuah ibadah tidak akan dinilai sebagai ibadah kalau tanpa niat, seperti wudlu, mandi dan tayammum. Demikian juga shalat, zakat dan i'tikaf serta ibadah-ibadah yang lain. Adapun menghilangkan najis tidak perlu niat, karena menghilangkan najis termasuk "pasal meninggalkan" yang tak perlu niat

Adapun dalam kalimat  وإنّما لكـلّ امرئ مانوى menunjukkan pada dua hal :

  1. Menurut Khotoby, mengandung makna khusus, yakni memfokuskan amal dengan niat, dan menurut Nawawi : memfokuskan amal ibadah dengan niat merupakan syarat sah-nya ibadah tersebut, dan tidak sah niat untuk ibadah yang berlalu, tapi harus dalam ibadah yang akan dikerjakan
  2. Tidak diperbolehkan mewakilkan dalam ibadah, karena dalam hal niat juga tidak dibenarkan mengambil " wakil ". namun ada perkecualian khususnya dalam pentasyarrufan zakat atau penyembelihan hewan kurban, maka boleh mewakilkan/diwakili dalam hal niat, juga diperbolehkan dalam pembayaran hutang.
ØKaidah syari'at yang berkaitan dengan niat
Berdasarkan pada hadits sayyidina Umar ra, di atas para mujtahidun dan para imam madzhab menyimpulkan sebuah hukum yang merupakan hukum furu' ( cabang ) dari fiqih. Diantara nya adalah : kaidah (1) Tidak berpahala tanpa niat, (2) segala sesuatu itu tergantung maksud tujuannya, dan (3) Perwujudan dalam akad itu untuk maksud dan pemaknaan, bukan dalam lafadz dan bentuk perbuatan., dan penjelasannya sebagai berikut :

(1) Tidak berpahala tanpa niat
secara ijma' disimpulkan bahwa niat merupakan syarat sah-nya ibadah. Dengan dasar Surah al-Bayyinah ayat 5 di atas, Abu Najim dari kelompok Hanafiyah mengatakan : bahwa sarat sahnya ibadah itu adalah ikhlas yang berarti dalam wilayah tauhid, maka niat menjadi syarat sahnya ibadah untuk mentauhidkan Alloh swt. Sedangkan dalam memandikan mayat tidak perlu niat, karena begitu juga saat menshalatkannya, sebab hanya sebatas menggugurkan kewajiban si mayit.
Dan menurut Jumhur Fuqoha niat adalah wajib sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dan makna kaidah ini adalah : Tidak ada pahala bagi semua ibadah syar'iyyah  tanpa adanya niat.  Menurut Ibnu Najim al-Mishry : pahala itu ada dua macam :
  1. Ukhrowi = yakni pahala yang sesungguhnya dan diikuti dengan kemungkinan mendapat siksa ( balasan meninggalkan )
  2. Dun-yawi ( dunia ) yakni keabsahan atau "kerusakan".

(2) segala sesuatu itu tergantung maksud tujuannya ( niatnya )
Maksudnya adalah bahwa amal perbuatan manusia yang mencakup ucapan dan perbuatannya tunduk pada hukum syari'at yang dengannya dapat tercapai tujuannya, jadi bukan hanya sekedar realitas amal dan ucapan saja.

Dan hakekat kaidah ini adalah hadits tersebut di atas serta hadits lain, yang disampaikan as-Suyuthi dalam berbagai kitabnya. Contohnya adalah sebagai berikut :
Dalam hal pembunuhan yang termasuk hukum jinayah ( pidana ) sangat didasarkan pada maksud dan niatnya, jika niatnya adalah sengaja maka dikenai hukum qishos, jika karena tidak sengaja maka dikenai diyat ( tebusan ). Demikian juga dalam shalat, jika diniatkan ikhlash karena Alloh maka sholatnya sah dan diterima, tapi jika untuk riya' maka shalatnya batal dan ditolak.
Dan masih banyak contoh kasus yang lain.

(3) Perwujudan dalam akad itu untuk maksud dan pemaknaan, bukan dalam lafadz dan bentuk perbuatan
Kaidah ini lebih khusus dari kaidah kedua yang membahas perkara lebih luas, sedangkan kaidah ketiga ini hanya difokuskan pada perkara "akad"( ijab qabul ).
Yakni bahwa jafadz dalam akad itu dapat merubah dari satu akad ke akad yang lain. Seperti dalam hal " hibah " yang memang harus tanpa disertai sarat tertentu, namun bila dalam hibah itu disertai sarat harus memberi ini dan itu, maka akad hibdah berubah menjadi akad jual beli.
Kaidah ini sering digunakan oleh madzhab Hanafi dan Syafi'i, khususnya dalam hukum jual beli. Sedangkan Malik dan Ahmad bin Hambali  tidak memakainya.

Demikianlah bahasan tentang " Hukum Niat dan dalil yang mewajibkannya serta kaidah syariat yang terkait dengannya ". dan akan dibahas pada pertemuan berikutnya tentang : " Posisi niat, waktu niat dan Tatacara niat"
Semoga ilmu yang kita dapatkan manjadi ilmu yang manfaat dan maslahat dunia dan akherat dan Semoga Alloh menerima amal kita semua, amin yaa rabbal 'aalamiin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar