Edisi N0: (2 ) Juni III- 2010
M/ Rajab I -1431 H
è Hukum Niat dan dalil wajibnya, serta kaidah syari'at yang
terkait
Hukum niat
menurut Jumhur Ahli Fiqih ( kecuali Hanafi )
adalah "wajib" sebagai ketetapan keabsahan sebuah
"amal", seperti dalam wudlu, mandi ( selain mandi mayit dan
tayammum) dan berbagai macam dan jenis sholat. Serta zakat, puasa dan haji
serta umroh
Dan "
sunnah " ( menurut Jumhur Fuqoha' selain Hanafi ) terhadap amal yang
tidak ditetapkan keabsahannya tanpa niat, seperti dalam melaksanakan "
hal-hal yang mubah/boleh" semisal makan dan minum, serta dalam
meninggalkan perkara yang haram dan makruh, seperti menghindari zina, minum
khomer dan lainnya. Atau menghindari sesuatu yang sia-sia, yaknu seperti
melakukan sesuatu yang hanya menghabis waktu dan tenaga tanpa ada manfaat
yang jelas yang dapat dirasakan baik secara lahir maupun batin.
Adapun
menurut Hanafi bahwa niat itu hukumnya "sunnah" dalam wudlu
dan mandi serta hal-hal lain yang merupakan wasilah/sarana untuk melaksanakan
sholat, untuk mendapatkan pahala, dan hal tersebut ( wudlu dan mandi )
merupakan syarat sahnya sholat
Namun secara garis besar, bahwa para ulama fiqih sependapat
bahwa niat adalah wajib dalam sholat untuk membedakan antara ibadah dan adat
tradisi, agar dapat terfokus untuk ikhlash mengerjakannya karena Alloh swt,
padahal sholat merupakan ibadah yang salah satu indikasinya adalah "
keikhlasan pelaku hanya untuk Alloh swt saja ".
Adapun dalil-dalil
tentang wajibnya "niat " adalah :
è Dalam surah Al-Bayyinah :
ومـاأمـروا إلاّ ليعبدوا الله مخلصين
له الدين حنفـاء.......
artinya : "
Dan tiadalah mereka diperintahkan kecuali agar mereka menyembah Alloh dengin
mukhlish/ikhlas sesuai ajaran agama dengan tulus…. " dan menurut Mawardi
arti ikhlash dalam ayat ini adalah " niat ".
è Sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan
Muslim ( Muttafaq 'Alaih ) serta 6 Perowi Hadits termasuk Ahmad, dari riwayat
Amirul Mukminin Umar bin Khottob ra., dan dia – menurut Nawawi- merupakan hadits
agung, yang merupakan salah satu cikal bakal berkembangnya Islam, sejumlah 42
hadits, dengan matan ( bunyi ) hadits :
قال عمر: سمعت رسول الله ص.م. يقول :
إنّماالأعمـال بالنيات, وإنّما لكـلّ امرئ مانوى, فمن كانت هجرته إلى الله
ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله, ومن
كانت هجرته إلى الدنيايصيبها أوامـرأة ينكحها فهجرته إلى ما هـاجر إليه
Artinya : Umar ra
berkata : aku mendengar Rasululloh saw bersabda : Sesungguhnya setiap amal (
perbuatan ) itu ditentukan oleh niat, dan bagi setiap orang adalah apa yang
diniatkan, maka barang siapa hijrah (orientasi)nya kepada Alloh dan Rasul-Nya
maka yang didapat adalah dari Alloh dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijroh(
motivasinya ) karena dunia maka dia akan mendapatkan itu, atau untuk wanita
yang dinikahinya, maka orientasinyapun kepadanya "
Maksud dari amal ( perbuatan ) pada hadits di atas adalah
amal taat dan amal syari'at, dan bukan amal perbuatan mubah ( yang dibolehkan
)
Hadits di
atas dengan jelas telah menerangkan bahwa niat merupakan syarat sah-nya
ibadah, bukan nilai amal itu yang dimaksud dalam hadits namun nilai amal
tersebut sangat ditentukan oleh niat-nya, yakni bahwa sebuah ibadah tidak
akan dinilai sebagai ibadah kalau tanpa niat, seperti wudlu, mandi dan
tayammum. Demikian juga shalat, zakat dan i'tikaf serta ibadah-ibadah yang
lain. Adapun menghilangkan najis tidak perlu niat, karena
menghilangkan najis termasuk "pasal meninggalkan" yang tak perlu
niat
Adapun dalam kalimat وإنّما لكـلّ امرئ مانوى menunjukkan pada dua hal :
ØKaidah syari'at yang berkaitan
dengan niat
Berdasarkan pada hadits sayyidina Umar ra, di atas
para mujtahidun dan para imam madzhab menyimpulkan sebuah hukum yang
merupakan hukum furu' ( cabang ) dari fiqih. Diantara nya adalah : kaidah (1)
Tidak berpahala tanpa niat, (2) segala sesuatu itu tergantung maksud
tujuannya, dan (3) Perwujudan dalam akad itu untuk maksud dan pemaknaan,
bukan dalam lafadz dan bentuk perbuatan., dan penjelasannya sebagai berikut :
(1) Tidak berpahala tanpa niat
secara ijma' disimpulkan bahwa niat merupakan syarat
sah-nya ibadah. Dengan dasar Surah al-Bayyinah ayat 5 di atas, Abu Najim dari
kelompok Hanafiyah mengatakan : bahwa sarat sahnya ibadah itu adalah ikhlas
yang berarti dalam wilayah tauhid, maka niat menjadi syarat sahnya ibadah
untuk mentauhidkan Alloh swt. Sedangkan dalam memandikan mayat tidak perlu
niat, karena begitu juga saat menshalatkannya, sebab hanya sebatas
menggugurkan kewajiban si mayit.
Dan menurut Jumhur Fuqoha niat adalah wajib
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dan makna kaidah ini adalah : Tidak
ada pahala bagi semua ibadah syar'iyyah
tanpa adanya niat. Menurut
Ibnu Najim al-Mishry : pahala itu ada dua macam :
(2) segala sesuatu itu tergantung maksud tujuannya (
niatnya )
Maksudnya adalah bahwa amal perbuatan manusia yang mencakup
ucapan dan perbuatannya tunduk pada hukum syari'at yang dengannya dapat
tercapai tujuannya, jadi bukan hanya sekedar realitas amal dan ucapan saja.
Dan hakekat kaidah ini adalah hadits tersebut di atas serta
hadits lain, yang disampaikan as-Suyuthi dalam berbagai kitabnya. Contohnya
adalah sebagai berikut :
Dalam hal pembunuhan yang termasuk hukum jinayah ( pidana )
sangat didasarkan pada maksud dan niatnya, jika niatnya adalah sengaja maka
dikenai hukum qishos, jika karena tidak sengaja maka dikenai diyat ( tebusan
). Demikian juga dalam shalat, jika diniatkan ikhlash karena Alloh maka
sholatnya sah dan diterima, tapi jika untuk riya' maka shalatnya batal dan ditolak.
Dan masih banyak contoh kasus yang lain.
(3) Perwujudan dalam akad itu untuk
maksud dan pemaknaan, bukan dalam lafadz dan bentuk perbuatan
Kaidah ini lebih khusus dari kaidah kedua yang membahas
perkara lebih luas, sedangkan kaidah ketiga ini hanya difokuskan pada perkara
"akad"( ijab qabul ).
Yakni bahwa jafadz dalam akad itu dapat merubah dari satu
akad ke akad yang lain. Seperti dalam hal " hibah " yang memang
harus tanpa disertai sarat tertentu, namun bila dalam hibah itu disertai
sarat harus memberi ini dan itu, maka akad hibdah berubah menjadi akad jual
beli.
Kaidah ini sering digunakan oleh madzhab Hanafi dan
Syafi'i, khususnya dalam hukum jual beli. Sedangkan Malik dan Ahmad bin
Hambali tidak memakainya.
Demikianlah bahasan tentang " Hukum Niat dan
dalil yang mewajibkannya serta kaidah syariat yang terkait dengannya ".
dan akan dibahas pada pertemuan berikutnya tentang : " Posisi niat,
waktu niat dan Tatacara niat"
Semoga ilmu yang kita dapatkan manjadi ilmu yang manfaat
dan maslahat dunia dan akherat dan Semoga Alloh menerima amal kita semua,
amin yaa rabbal 'aalamiin.
|
Rabu, 18 Januari 2012
Kajian Niat (2)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar