|
Edisi N0: (3 ) Juli I- 2010
M/ Rajab IV -1431 H
è [ 1 ] --- Posisi
niat
Menurut kesepakatan para Ahli Fiqih ( ittifaq Fuqoha' ), letak dan
posisi niat adalah di dalam hati ( wajibnya ), jadi tidak cukup dengan lisan
saja, dan bukan pula hanya tertumpu pada pengucapan saja.
Namun menurut Jumhur Fuqoha' ( mayoritas Ahli Fiqih ) kecuali Maliki,
bahwa " pengucapan" niat dengan lisan hukumnya sunnah, hal ini
karena membantu hati dalam merealisasikan niat tersebut. Agar pengucapan dan
pelafalan itu membantu " daya ingat", sedangkan Maliki tidak
memandangnya sunnah karena tidak manqul dari Nabi saw.
Dan niat itu bersemayam di hati, karena sesungguhnya niat itu sama
artinya dengan ikhlas, dan ikhlas itu adanya hanya di hati, sehingga niat
akan semakin kokoh apabila digabungkan antara : " terbetik dalam hati
" dan " dilafalkan dengan lisan ".
Terjadinya perbedaan pandangan bahwa niat cukup di dalam hati dan perlu
dilafalkan adalah :
sehingga
niatan di dalam hati itu lebih utama dibandingkan dengan pelafalan, sehingga
jikalau dalam berwudlu seseorang telah terdetik niat dalam hati, namun
melafalkannya untuk mensucikan, maka wudlunya sah. Demikian juga saat dalam
hati terbetik niat melaksanakan shalat dhuhur, namun dalam lisan melafalkan
niat shalat ashar, maka sah sholat dhuhurnya .
Dijelaskan dalam kitab Hanafiyah ( " al-Qoniyyah wal
Mujtabaa " ) : Barangsiapa yang tidak mampu menghadirkan hatinya dalam
berniat atau ragu-ragu dalam berniat, maka cukup dengan melafalkan secara
lisan, dalilnya dalah firman Alloh dalam surah al-Baqoroh : 2/286.
Apabila ucapan lisannya terlanjur berjanji/ sumpak kepada
Alloh swt, tanpa sengaja, maka menurut Jumhur kecuali Hanafi adalah tidak
" terjadi" sumpah dan janjinya, karena merupakan sumpah "
gurauan". Namun menurut Hanafi hal demikian tetap terjadi sumpah dan
janjinya dan berhak dikenai kaffarat apabila melanggarnya, karena menurutnya
dalam hukum asal tidak ditemukan " hukum sumpah gurauan ".
sedangkan Jumhur memandang bahwa sunpah yang " berlaku " adalah sumpah
yang diucapkan dengan kalimat sumpah, seperti : Wallohi, Balaa Walloohi, atau
dengan membaca al-Qur'an. Dan kesimpulannya bahwa dalam hal talak dan ila'
yang berlaku adalah " ucapan lisan " tanpa harus didasari dengan
" betikan di dalam hati ", sehingga apabila terucap kalimat talak
dan atau ila' meski tanpa didasari niatan hati maka hukumnya telah berlaku.
b. Niat tidak selalu
disyaratkan dengan pelafalan, khususnya dalam ibadah sosial yang memang tidak
memerlukan pelafalan. Seperti dalam membangun masjid, dalam bersumpah untuk
menghindari melakukan sesuatu, atau talak yang diikuti kalimat " Insya
Alloh "., namun dalam mu'amalah tertentu disyaratkan adanya pelafalan,
seperti dalam Nikah, Talak. cerai dan rujuk, dalam jual beli dan dalam akad
ijab qabul yang lain.
Dalam hal bermaksiat, Subki dan kawan-kawan mengurutkan
dalam 5 tingkatan :
1.
Hajiz, yakni betikan dalam hati, tidak berdosa karena belum
terlaksana
2.
Khothir : yang terdetik dalam hati dan mampu untuk
dilakukan namun tidak dilakukan
3.
Haditsun-nafs ( bisikan jiwa ) yakni antara melakukan dan
tidak melakukan
4.
al-Hamm ( keinginan yang
kuat ). Bisa terjadi dan bisa tidak terjadi
5.
al-'Azmu ( dorongan yang kuat ), untuk melakukan
è [ 2 ]
Waktu Berniat
Dalam hukum asal secara umum bahwa waktu untuk berniat
adalah pada awal melakukan ibadah badaniyah ( secara fisik ). Seperti dalam
wudlu adalah pada awal melakukan rangkaian ibadah wudlu, ( saat membasuh
tangan : menurut Hanafi ) meskipun rukun wudlu adadalh membasuh wajah, namun
bila niat di saat membasuh tangan agar mendapat pahala mulai saat membasuh
tangan tersebut. Dan boleh juga berniat sebelum berwudlu dalam tenggang waktu
yang tidak lama, apabila terlalu lama maka tidak mendapat pahala.
Menurut
Syafi'i dan Hambali, lebih baik diniati menghilangkan hadats dalam setiap
gerakan dalam wudlu.
Dan di dalam
mandi maka niatnya harus jelas apakah untuk menghilangkan jinabat,
menghilangkan hadats besar atau niat " membolehkan yang dilarang "
dan dilakukan sebelum mengguyur badan dengan air.
Sedangkan
dalam tayammum, maka niat menjadi fardlu menurut 4 imam madzhab. Akan tetapi
mereka berbeda di dalam menempatkan posisi niat; apakah sebelum menepuk debu,
apa sebelum mengusap wajah, yang jelas harus " berniat ".
Adapun dalam
shalat, maka para imam madzhab berpendapat sebagai berikut :
Kesimupulannya : bahwa niat sholat adalah berbarengan dengan takbir atau
sebelumnya dalam batas waktu yang tidak terlalu lama.
Adapun yang disunnahkan dalam berniat :
1.
Puasa, boleh berniat lebih awal, yaitu sejak terbenam
matahari sampai sebelum fajar
2.
Haji, letak niatnya adalah sebelum melaksanakan rangkaian
haji
3.
Zakat maal dan fitrah, boleh diawalkan niatnya seperti
dalam puasa
4.
Menjama' Shalat atau qashar, niatnya pada shalat yang
pertama, namun Syafi'i membolehkan diantara dua shalat yang dijama' atau
diqashar.
5.
Menyembelih binatang qurban, boleh lebih awal atau saat
menyerahkan kepada wakilnya
6.
Bersumpah, waktunya adalah sebelum selesai sumpahnya.
è [ 3 ] Tatacara niat
Berniat itu dimaksudkan untuk membedakan antara pekerjaan
atau ibadah satu dengan yang lainnya, baik dalam ibadah khusus ( mahdloh )
atau dalam ibadah umum ( ghoiru mahdloh ) atau bahkan dalan adat tradisi (
kebiasaan ). Sehingga maksud niat dalam ibadah adalah untuk membedakannya
dengan adat tradisi atau untuk membedakan posisi satu ibadah dari yang
lainnya, seperti wajib dengan sunnah dan lain sebagainya.
Seperti dalam berwudlu, maka diniati untuk membolehkan
sholat dan menghilangkan najis, maka sah-lah wudlunya, namun apabila diniati
yang lain, maka tidak sah.
Dan dilam sholat, urutannya adalah yang wajib ( fardlu )
dan yang sunnah, seperti sholat fardu 5 waktu dan sholat jenazah. Dan sholat
sunnah ada yang mengikuti wajib ( rawatib ), shalat witir, shalt 2 hari raya
( ied ), kusyuf, istisqa, tarwih dan muthlaqah.
Dalam shalat fardlu, maka wajib menyebutkan jenis sholatnya
agar dapat membedakan dengan jenis sholat lainnya ( Subuh, dhuhur, ashar,
maghrib dan isya' ).
Dan dalam sholat sunnah maka wajib menyebutkan jenis shalat
sunnahnya, seperti shalat sunnah witir, tarwih, istisqo dan lain sebagainya.
Adapun dalam shalat sunnah mutlaqah boleh tidak menyebutkan jenisnya karena
tidak ditentukan waktu dan sebab melaksanakannya ( seperti awwabiin, taubat,
birrul waalidain, lailatul qodr dsb ).
Dan secara garis besar, para imam madzhab mensyaratkan
penyebutan tujuan dan kondisi pekerjaan ibadah, seperti antara haji dan
umroh. Antara zakat, sodaqoh dan infaq, atau dalam penjelasan tentang ibadah
yang dilakukan, seperti dalam shalat dhuhur maka yang perlu diniatkan adalah
: jenis shalat ( dhuhur ), jumlah rakaat ( empat rakaat ), menghadap kiblat,
tujuannya adalah mencari ridlo Alloh ( lillaahi ta;ala ) ; atau dalam kalimat
:
أُصَلِّى
فَرْضَ الظُّهْرِ أَرْبَعَ رَكَعَـاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً لِلَّهِ
تَعَالَى
Adapun di dalam ibadah lain yang harus berniat adalah : i;tikaf, haji,
umroh dan lain sebagainya.
Demikianlah bahasan tentang
" Posisi niat, waktu niat dan Tatacara niat"
Semoga ilmu yang kita dapatkan manjadi ilmu yang manfaat
dan maslahat dunia dan akherat dan Semoga Alloh menerima amal kita semua,
amin yaa rabbal 'aalamiin.
|
Rabu, 18 Januari 2012
Kajian Niat (3)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar