Rabu, 18 Januari 2012

Kajian Niat (3)



Edisi N0: (3 ) Juli I- 2010 M/  Rajab IV -1431 H

è [ 1 ] --- Posisi niat
Menurut kesepakatan para Ahli Fiqih ( ittifaq Fuqoha' ), letak dan posisi niat adalah di dalam hati ( wajibnya ), jadi tidak cukup dengan lisan saja, dan bukan pula hanya tertumpu pada pengucapan saja.
Namun menurut Jumhur Fuqoha' ( mayoritas Ahli Fiqih ) kecuali Maliki, bahwa " pengucapan" niat dengan lisan hukumnya sunnah, hal ini karena membantu hati dalam merealisasikan niat tersebut. Agar pengucapan dan pelafalan itu membantu " daya ingat", sedangkan Maliki tidak memandangnya sunnah karena tidak manqul dari Nabi saw.

Dan niat itu bersemayam di hati, karena sesungguhnya niat itu sama artinya dengan ikhlas, dan ikhlas itu adanya hanya di hati, sehingga niat akan semakin kokoh apabila digabungkan antara : " terbetik dalam hati " dan " dilafalkan dengan lisan ".

Terjadinya perbedaan pandangan bahwa niat cukup di dalam hati dan perlu dilafalkan adalah :
  1. Bahwa tidak cukup niat itu dilafalkan saja tanpa didasari dengan kesungguhan hati sesuai dengan firman Alloh dalam surah al-Bayyinah: 98/5., dan dari ini muncul bahasan :
sehingga niatan di dalam hati itu lebih utama dibandingkan dengan pelafalan, sehingga jikalau dalam berwudlu seseorang telah terdetik niat dalam hati, namun melafalkannya untuk mensucikan, maka wudlunya sah. Demikian juga saat dalam hati terbetik niat melaksanakan shalat dhuhur, namun dalam lisan melafalkan niat shalat ashar, maka sah sholat dhuhurnya .

Dijelaskan dalam kitab Hanafiyah ( " al-Qoniyyah wal Mujtabaa " ) : Barangsiapa yang tidak mampu menghadirkan hatinya dalam berniat atau ragu-ragu dalam berniat, maka cukup dengan melafalkan secara lisan, dalilnya dalah firman Alloh dalam surah al-Baqoroh : 2/286.

Apabila ucapan lisannya terlanjur berjanji/ sumpak kepada Alloh swt, tanpa sengaja, maka menurut Jumhur kecuali Hanafi adalah tidak " terjadi" sumpah dan janjinya, karena merupakan sumpah " gurauan". Namun menurut Hanafi hal demikian tetap terjadi sumpah dan janjinya dan berhak dikenai kaffarat apabila melanggarnya, karena menurutnya dalam hukum asal tidak ditemukan " hukum sumpah gurauan ". sedangkan Jumhur memandang bahwa sunpah yang " berlaku " adalah sumpah yang diucapkan dengan kalimat sumpah, seperti : Wallohi, Balaa Walloohi, atau dengan membaca al-Qur'an. Dan kesimpulannya bahwa dalam hal talak dan ila' yang berlaku adalah " ucapan lisan " tanpa harus didasari dengan " betikan di dalam hati ", sehingga apabila terucap kalimat talak dan atau ila' meski tanpa didasari niatan hati maka hukumnya telah berlaku.
b. Niat tidak selalu disyaratkan dengan pelafalan, khususnya dalam ibadah sosial yang memang tidak memerlukan pelafalan. Seperti dalam membangun masjid, dalam bersumpah untuk menghindari melakukan sesuatu, atau talak yang diikuti kalimat " Insya Alloh "., namun dalam mu'amalah tertentu disyaratkan adanya pelafalan, seperti dalam Nikah, Talak. cerai dan rujuk, dalam jual beli dan dalam akad ijab qabul yang lain.
Dalam hal bermaksiat, Subki dan kawan-kawan mengurutkan dalam 5 tingkatan :
1.      Hajiz, yakni betikan dalam hati, tidak berdosa karena belum terlaksana
2.      Khothir : yang terdetik dalam hati dan mampu untuk dilakukan namun tidak dilakukan
3.      Haditsun-nafs ( bisikan jiwa ) yakni antara melakukan dan tidak melakukan
4.      al-Hamm ( keinginan yang  kuat ). Bisa terjadi dan bisa tidak terjadi
5.      al-'Azmu ( dorongan yang kuat ), untuk melakukan

è [ 2 ] Waktu Berniat
Dalam hukum asal secara umum bahwa waktu untuk berniat adalah pada awal melakukan ibadah badaniyah ( secara fisik ). Seperti dalam wudlu adalah pada awal melakukan rangkaian ibadah wudlu, ( saat membasuh tangan : menurut Hanafi ) meskipun rukun wudlu adadalh membasuh wajah, namun bila niat di saat membasuh tangan agar mendapat pahala mulai saat membasuh tangan tersebut. Dan boleh juga berniat sebelum berwudlu dalam tenggang waktu yang tidak lama, apabila terlalu lama maka tidak mendapat pahala.

Menurut Syafi'i dan Hambali, lebih baik diniati menghilangkan hadats dalam setiap gerakan dalam wudlu.
Dan di dalam mandi maka niatnya harus jelas apakah untuk menghilangkan jinabat, menghilangkan hadats besar atau niat " membolehkan yang dilarang " dan dilakukan sebelum mengguyur badan dengan air.

Sedangkan dalam tayammum, maka niat menjadi fardlu menurut 4 imam madzhab. Akan tetapi mereka berbeda di dalam menempatkan posisi niat; apakah sebelum menepuk debu, apa sebelum mengusap wajah, yang jelas harus " berniat ".

Adapun dalam shalat, maka para imam madzhab berpendapat sebagai berikut :
  1. Hanafi adalah sesaat sebelum takbirotul ihrom tanpa di sela oleh pekerjaan lain seperti makan, minum dan lain sebagainya.
  2. Syafi'i adalah bersamaan antara niat dan takbirotul ihrom
  3. Maliki, saat takbirotul ihrom atau sebelumnya pada jarak waktu yang tidak terlalu lama.
  4. Hambali, boleh sebelum takbir dengan jarak watu yang tidak terlalu lama
Kesimupulannya : bahwa niat sholat adalah berbarengan dengan takbir atau sebelumnya dalam batas waktu yang tidak terlalu lama.

Adapun yang disunnahkan dalam berniat :
1.      Puasa, boleh berniat lebih awal, yaitu sejak terbenam matahari sampai sebelum fajar
2.      Haji, letak niatnya adalah sebelum melaksanakan rangkaian haji
3.      Zakat maal dan fitrah, boleh diawalkan niatnya seperti dalam puasa
4.      Menjama' Shalat atau qashar, niatnya pada shalat yang pertama, namun Syafi'i membolehkan diantara dua shalat yang dijama' atau diqashar.
5.      Menyembelih binatang qurban, boleh lebih awal atau saat menyerahkan kepada wakilnya
6.      Bersumpah, waktunya adalah sebelum selesai sumpahnya.

è [ 3 ] Tatacara niat

Berniat itu dimaksudkan untuk membedakan antara pekerjaan atau ibadah satu dengan yang lainnya, baik dalam ibadah khusus ( mahdloh ) atau dalam ibadah umum ( ghoiru mahdloh ) atau bahkan dalan adat tradisi ( kebiasaan ). Sehingga maksud niat dalam ibadah adalah untuk membedakannya dengan adat tradisi atau untuk membedakan posisi satu ibadah dari yang lainnya, seperti wajib dengan sunnah dan lain sebagainya.

Seperti dalam berwudlu, maka diniati untuk membolehkan sholat dan menghilangkan najis, maka sah-lah wudlunya, namun apabila diniati yang lain, maka tidak sah.

Dan dilam sholat, urutannya adalah yang wajib ( fardlu ) dan yang sunnah, seperti sholat fardu 5 waktu dan sholat jenazah. Dan sholat sunnah ada yang mengikuti wajib ( rawatib ), shalat witir, shalt 2 hari raya ( ied ), kusyuf, istisqa, tarwih dan muthlaqah.
Dalam shalat fardlu, maka wajib menyebutkan jenis sholatnya agar dapat membedakan dengan jenis sholat lainnya ( Subuh, dhuhur, ashar, maghrib dan isya' ).
Dan dalam sholat sunnah maka wajib menyebutkan jenis shalat sunnahnya, seperti shalat sunnah witir, tarwih, istisqo dan lain sebagainya. Adapun dalam shalat sunnah mutlaqah boleh tidak menyebutkan jenisnya karena tidak ditentukan waktu dan sebab melaksanakannya ( seperti awwabiin, taubat, birrul waalidain, lailatul qodr dsb ).

Dan secara garis besar, para imam madzhab mensyaratkan penyebutan tujuan dan kondisi pekerjaan ibadah, seperti antara haji dan umroh. Antara zakat, sodaqoh dan infaq, atau dalam penjelasan tentang ibadah yang dilakukan, seperti dalam shalat dhuhur maka yang perlu diniatkan adalah : jenis shalat ( dhuhur ), jumlah rakaat ( empat rakaat ), menghadap kiblat, tujuannya adalah mencari ridlo Alloh ( lillaahi ta;ala ) ; atau dalam kalimat :

أُصَلِّى فَرْضَ الظُّهْرِ أَرْبَعَ رَكَعَـاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَدَاءً لِلَّهِ تَعَالَى

Adapun di dalam ibadah lain yang harus berniat adalah : i;tikaf, haji, umroh dan lain sebagainya.

Demikianlah bahasan tentang  " Posisi niat, waktu niat dan Tatacara niat"
Semoga ilmu yang kita dapatkan manjadi ilmu yang manfaat dan maslahat dunia dan akherat dan Semoga Alloh menerima amal kita semua, amin yaa rabbal 'aalamiin.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar